silahkan latihan bisnis

SentraClix DbClix

Pages

Senin, 31 Januari 2011

UPACARA ADAT


Di Jawa khususnya di daerah sekitar eks karisidenan Surakarta sampai sekarang masih ada upacara adat yang sering dilaksanakan. Upacara adat yang berkembang di masyarakat didasarkan oleh adanya keyakinan agama ataupun kepercayaan masyarakat setempat. Upacara adat biasanya dilakukan sebagai ungkapan rasa terima kasih pada kekuatan yang dianggap memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada mereka.

Pengkategorian upacara adat dapat dilihat sebagai berikut:

1. Upacara adat yang berhubungan dengan manusia

Jika diurutkan dari kelahiran sampai meninggal. Upacara adat dapat dikelompokkan sebagai berikut: Ketika masih hamil contoh bentuk upacara adatnya adalah ngupat, ngliman, mitoni atau tingkeban. Menjelang melahirkan biasanya ada mendhem ari-ari, brokohan, sepasaran, aqeqah, puputan atau dhautan, dan selapanan. Ketika sudah tumbuh menjadi anak-anak, masyarakat juga sering menyelenggarakan upacara adat seperti tedhak siten, tingalan, dan nyapih. Untuk anak laki-laki yang lajang biasanya di khitan, tarapan, pangur. Upacara adat untuk kaum perjaka dan perawan yaitu pernikahan (pengantenan). Upacara adat yang berhubungan dengan meninggalnya seseorang, misalnya: Surtanah utawa bedhah bumi, Nelung dina, Mitung dina, Matang puluh, Nyatus, Pendhak pisan, Pendhak pindho, dan Nyewu.

2. Upacara adat yang ada hubungannya dengan alam

Biasanya berkaitan dengan kepercayaan tertentu mengenai tempat hidup warga setempat. Misalnya: sedekah bumi, bersih desa, tolak balakan dan sebagainya.

3. Upacara adat yang ada hubungannya dengan agama/Kepercayaan

Misalnya untuk memeringati kematian (khaul), bersih makam (nyadran), dan sebagainya.

4. Yang termasuk dalam kategori upacara adat yang lain contohnya adalah ruwatan dan munggah wuwungan.

Penjelasan di atas merupakan pengkategorian bentuk upacara adat yang menjadi landasan penelitian pada umumnya.

Tarian Rakyat

TARIAN RAKYAT

Tari adalah gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran. Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari mengatur gerakan penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan. Gerakan tari berbeda dari gerakan sehari-hari seperti berlari, berjalan, atau bersenam. Menurut jenisnya, tari digolongkan menjadi tari rakyat, tari klasik, dan tari kreasi baru.

Seorang ahli sejarah dan musik Jerman bernama C.Sachs telah memberikan definisi seni tari sebagai gerakan yang berirama. Seni tari adalah pengucapan jiwa manusia melalui gerak-gerik berirama yang indah. Dalam kebudayaan melayu terdapat berbagai-bagai jenis tarian. Ada tarian asli ataupun tarian yang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur modern.

Tari adalah gerak yang ritmis. Definisi yang singkat itu dikemukakan oleh Curt Sachs, seorang ahli sejarah dan musik dari Jerman dalam bukunya Word history of the dance.

Menurut Corrie Hartong, seorang dari Belanda dalam bukunya yang berjudul Danskunst, mengemukakan bahwa tari adalah gerak-gerak yang diberi bentuk dan ritmis dari badan di dalam ruang.

Dalam buku Dance Komposition yang ditulis oleh La Men dikatakan bahwa tari adalah ekspresi subjektif yang diberi bentuk objektif.

B.P.A. Soerjodiningrat, seorang ahli tari Jawa dalam Babad Lan Mekaring Djoged Jawi mengatakan bahwa tari adalah gerak-gerak dari seluruh anggota tubuh atau badan yang selaras dengan bunyi music (gamelan), diatur oleh irama yang sesuai dengan maksud dan tujuan didalam tari.

Dalam buku Djawa dan Bali: Dua pusat Perkembangan Drama Tari Tradisionil di Indonesia, Soedarsono mengemukakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah.

Dari definisi-definisi di atas dapt disimpulkan bahwa tari adalah bentuk gerak yang indah, lahir dari tubuh yang bergerak, berirama dan berjiwa sesuai dengan maksud dan tujuan tari. Dari beberapa rumusan itu, bila dianalisis akan ditemukan beberapa aspek dari pengertian tari yaitu: bentuk, gerak, tubuh, irama, jiwa, maksud dan tujuan tari.

Tari memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam kehidupan manusia, diantaranya adalah tari sebagai hiburan, seni pertunjukan, media pendidikan. Tari juga memiliki tujuan-tujuan tertentu, adapun tujuan-tujuannya dapat digolongkan menjadi lima, yaitu tarian rakyat, tarian social, tarian etnis, tarian spektakuler, dan tari sebagai ekspresi seni. Dalam pembahasan ini yang menjadi objek penelitian adalah tarian rakyat.

Tarian rakyat maksudnya adalah tari yang hidup, tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat kebanyakan. Pada zaman feodal perkembangan tari terjadi pada dua lingkungan, yaitu lingkungan istana dan lingkungan rakyat. Kedua lingkungan itu, masing-masing mempunyai bentuk dan corak yang khas, selaras dengan struktur social kehidupannya.

Menurut lingkungan istana sebagai kaum yang memiliki kekuasaan sering mengalami mengklaim bahwa tari istana memiliki bobot nilai artistik lebih tinggi dari rakyat.

Sementara itu, pada dasarnya bentuk dan tujuan tarian rakyat mencerminkan berbagai kepentingan yang ada pada lingkungannya, seperti pada saat usai panen padi, tari tayub sebagai symbol kesuburan selalu hadir dalam pesta syukuran kepada dewi padi.

Ciri-ciri tarian rakyat antara lain adalah bentuknya yang tradisional merupakan ekspresi kerakyatan, biasanya pengembangan dari tarian primitif bersifat komunal (kebersamaan), geraknya serta pola lantai masih sederhana dan sering diulang-ulang. Contohnya, tari kuda kepang atau jathilan, rodat (Jawa Tengah), topeng babakan, angklung, sintren, ronggeng (Jawa Barat).

FOLKLOR SETENGAH LISAN

Di depan dijelaskan bahwa folklor terdiri dari tiga kelompok besar. Pada pembahasan yang selanjutnya ini akan membahas folklor yang kedua yaitu Folklor Setengah Lisan. Dan menurut Brunvard Folklor Setengah Lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.

Folklor setengah lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan gabungan dari unsur lisan dan unsur bukan lisan. Contoh-contoh folklor Indonesia yang termasuk dalam folkor ini adalah:

A. Permainan Rakyat

B. Tarian Rakyat

C. Upacara Adat

D. Kepercayaan rakyat

E. Teater Rakyat

Setiap Bangsa di dunia ini pada umumnya mempunyai permainan rakyat, kegiatan ini juga termasuk folklor karena diperoleh melalui warisan lisan. Permainan ini biasanya untuk anak-anak maupun orang dewasa berdasarkan gerakan tubuh seperti lari atau lompat-lompat. Berdasarkan sifat permainan maka permainan rakyat dibagi menjadi dua golongan yaitu permainan untuk bermain dan permainan untuk bertanding. Perbedaan permainan untuk bermain dan permainan untuk bertanding adalah bahwa yang pertama lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang atau rekreasi, sedangkan yang kedua bersifat kurang mempunyai itu. Namun yang kedua selalu mempunyai lima sifat khusus yaitu:

Ø Terorganisasi.

Ø Perlombaan (competitif).

Ø Harus dimainkan paling sedikit dua orang peserta.

Ø Mempunyai kriteria menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Ø Mempunyai peraturan permainan yang telah diterima oleh para pesertanya.

Kemudian permainan yang bersifat bertanding juga dibagi menjadi dua yaitu permainan bertanding yang bersifat keterampilan fisik dan permainan pertnadingan yang bersifat siasat.

NYANYIAN RAKYAT

Nyanyian rakyat yang berasal dari daerah di eks Karesidenan Surakarta adalah : Sluku-Sluku Bathok, Cublak-Cublak Suweng, Jamuran, Padhang Wulan, Lela-Lela Ledhung, Yen Ing Tawang Ana Lintang, Cublak-Cublak Suweng. Berikut adalah contoh syair Lagu dolanan yang tidak diketahui pengarang dan judulnya.


- Nagasari ri

Nini dhok

Rina wengi ngi

Ngilo kaca ca

Cara landa nda

Ndekek’ake ke

Kere ngemes mes

Mesam mesem sem

-Semar mendem ndem

Ndemek penthel thel

Thela- thelo lo

Lobak lobis bis

Bista raja ja

Jaka bagus gus

Gusti kulo lo

Lombok ijo sambelan


- Kroto penthile mlinjo

Kroto pentile mlinjo

Mlinjo dadi umah gendeng pinggir kali sretali

- Lindri

Lindri adang telung kathi

Lawuhe bothok teri

Sabeja beji beker

Sabeja beji beker


- Dendheng kenthing

Dendheng kething ting

Sambel kothang tang

Kakang mendhak yen mendhak ulung-ulungan

Jenang selo kang gendhis mawi kalapa ana

Raosna kumitir lidah kawula

Jahe wono mbang hati pumalingan

Benguk wono kacipir wungu

Kembange ane


- Kroto penthile mlinjo

Kroto pentile mlinjo

Mlinjo dadi umah gendeng pinggir kali sretali

- Jotaang alang-alang, luminter kacang ijo

Jotang-jating nyucuk

Cah lanang nandur kacang

Cah wedok nandur lombok

Sir gedebug coklek

Legenda Desa Boyolali, Wedhi, dan Jiwo

Legenda Desa Boyolali, Wedhi, dan Jiwo, Perjalanan Ki Ageng Padang Aran dengan istrinya dan muridnya sangat jauh meninggalkan kota Semarang, namun Ki Ageng Pandan Aran tetap tegap berjalan namun Nyi Ageng sudah loyo dan diikuti oleh muridnya (Syekh Domba) dalam perjalanan itu Ki Ageng Padang Aran selalu berdzikir tidak ada hentinya. Pada siang hari yang panas terik Ki Ageng Padang Aran berjalanan tiada hirauan apa-apa perjalanan Nyi Ageng tertinggal jauh; lalu Nyi Ageng berkata ”Karo bojo mbok aja lali…” (Bahasa Indonesia : jangan lupa sama istri) Sampai sekarang kota ini diberi nama Boyolali.

Kini perjalanan mereka telah sampai di suatu desa yang tidak jauh dari tujuannya, Jabalkat. Rombongan Ki Ageng Padang Aran melihat seorang perempuan tua yang membawa beras berjalan setengah berlari karena melihat rombongan Ki Ageng Padang Aran berjalan mengikutinya, kemudian Ki Padang Aran mengikutinya dan berkata : ”Tunggu sebentar Nyai, kami Cuma ingin bertanya di manakah Jabalkat itu?” Jawab perempuan itu : ”Kurang lebih sepuluh kilo ke arah timur.” Kemudian Ki Ageng bertanya lagi ”Apa yang Kau bawa itu Nyai?” perempuan itu menjawab bohong :”Namung wedhi Gusti” (Hanya pasir Tuan) karena takut kalau bawaannya akan dirampok. Setelah rombongan Ki Ageng berlalu, peremuan itu merasa beras digendong terasa makin berat, kemudian ia melihat bahwa beras itu sudah menjadi pasir, maka menyesal lah ia karena mengetahui kejadian itu. Dalam hati ia bertanya siapakah rombongan orang berjubah tadi dan saat ia bertekat untuk selalu jujur dan tidak akan berbohong lagi. Kemudian desa tempat pembuangan pasir (wedhi=Jawa) itu sampai sekarang telah menjadi kota kecamatan. Namanya tetap Kecamatan Wedhi, yang menjadi wilayah Kabupaten Klaten.

Pada suatu hari Ki Ageng Padang Aran bermalam di rumah milik orang desa, orang tersebut berjualan serabi, di sinilah Ki Ageng Padang Aran ikut jualan serabi dan mengaku bernama Slamet kepada Bu Tasik. Dengan kehadiran Slamet ini serabinya laris sekali dan sangat terkenal,dagangannya sangat laris sampai-sampai banyak orang rela berjam-jam antri untuk menikmati serabi buatan Bu Tasik. Suatu saat Bu Tasik kehabisan kayu bakar untuk memasak dan Slamet disuruh mencari kayu di hutan. Anehnya Slamet tidak mencari kayu tetapi tangan Slamet dimasukkan ke dalam tungku untuk memasak serabi, dengan tidak berangkatnya Slamet Bu Tasik marah-marah, tetapi alangkah terkejutnya setelah mengetahui tangan Slamet dimasukkan ke dalam tungku untuk memasak serabi. Dengan kejadian ini Bu Tasik takut dan tahu kalau Slamet ini bukan orang sembarangan. Dengan kejadian ini Nyi Tasik diberi tahu bahwa dia Ki Ageng Padang Aran lalu ikut ke gunung Jabalkat

Ki Ageng Padang Aran berangkat menuju ke timur, dan baru beberapa langkah sudah terlihat dari kejauhan gunung Jabalkat. Jalan menuju gunung Jabalkat ini melaului desa Jiwoh. Di desa ini Ki Ageng Padang Aran merasa haus dan minta ketimun kepada petani, petani berkata bahwa ketimunnya belum berbuah, tetapi Ki Ageng tau kalau ada buahnya satu tetapi petani sendri tidak tahu, lalu Ki Ageng berkata ”Ini sudah jiwoh” (siji awoh) berbuah satu, maka sekarang desa Jiwo terletak di sebelah barat gunung Jabalkat.

Legenda Desa Matamu

Legenda Desa Matamu, Matamu sebenarnya berasal dari bahasa Jawa Kuna yaitu ‘mertamu’. Yang memberi nama adalah kerabat kerajaan Majapahit. Kerabat tersebut berkunjung ke wilayah Sukoharjo kemudian kerabat tersebut menamainya menjadi desa Matamu. Tetapi seiring perkembangan jaman konotasi matamu itu berubah makna. Kemudian warga merubah nama desa tersebut menjadi Desa Toriyo.

Legenda Buk Bolong

Legenda Buk Bolong, sebelumnya jalan wilayah Sukoharjo hanya kecil kemudian diadakan pelebaran jalan 3 meter dari jalan terdapat sumur yang dalam untuk memperluas jalan sumur ikut ditutup sumur tersebut terletak di tengah jalan. Setelah ditutup sumur tersebut tetap tidak dapat tertutup dan di sana banyak terjadi korban kecelakaan akibat lekukan sumur tersebut. Kemudian pemerintah akhirnya mengeduk sumur tersebut kemudian mengecornya. Setelah dicor dan diadakan upacara selamatan tidak ada terjadi kecelakaan di daerah atau jalan tersebut.

Ki Ageng Padang Aran

Ki ageng Padang Aran, perjalanan Ki Ageng Padang Aran dengan istrinya dan muridnya sangat jauh meninggalkan kota Semarang, namun Ki Ageng Pandan Aran tetap tegap berjalan, namun Nyi Ageng sudah loyo dan diikuti oleh muridnya (Syeh Domba) dalam perjalanan itu Ki Ageng Padang Aran selaku berdzikir tidak ada hentinya. Pada siang hari yang panas terik Ki Ageng Padang Aran berjalan tiada hiraukan apa-apa. Perjalanan Ki Ageng tertinggal jauh. Lalu Nyi Ageng berkata “karo bojo mbok ojo lali…”(bahasa Indonesia: jangan lupa sama istri) nah sampai sekarang kota ini diberi nama Boyolali. Kini perjalanan mereka sudah sampai.

Bung Karno pun Berguru ke Mbah Canggal

Bung Karno pun Berguru ke Mbah Canggal, pada saat kerajaan Islam-Demak dirintis awal 1477-an, Sultan Alfatah banyak menggunakan potensi para Wali sebagai penasihat spiritualnya. Selain mertuanya (Sunan Ampel), ia juga dekat dengan Sunan Kalijaga, Sendang Dhuwur, Majagung dan Nyamplung, yang banyak merencanakan berbagai proyek budaya, ekonomis dan sosial, namun dengan dampak politis dahsyat.

Pada pengganti raja, Jaka Tingkir yang semula menjadi Bupati Pengging Hadiwijoyo, toh akhirnya mampu menjadi Sultan Pajang (1533). Metafisika yang ditekuni lewat Ki Ageng Selo, Ki Kebo Kanigoro dan Ki Banyubiru membuahkan hasil optimal. Hal yang patut disimak, bahwa setelah Pajang sirna, dan Mataram berdiri (1580), maka anak-angkat Hadiwijoyo, yaitu Panembahan Senopati menggunakan pamannya sendiri, mantan dukun prewangan Ki Juru Martani alias Mandaraka yang hingga raja Mataram kedua masih berperanan.

Di zaman Anyokrowati (1613) dan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1645), orang-orang sakti dari Alaspurwa Blambangan jadi benteng magis. Demikian pula, akhirnya sosok Ki Ageng Jolosutro sebagai penasihat rohani, ditambah Joko Umbaran alias Puruboyo, pemuda desa asal Gunungkidul--yang lantaran campur tangannya pula, berhasil membangun imperium Mataram yang teguh pula. Perlu disebut, bahwa Sang Sunan Amangkurat I menjalin koalisi dengan Panembahan Romo Kajoran, dukun sakti yang pada 1685 justru melemparkan Amangkurat ke pembuangan Tegalarum, dan memunculkan Trunojoyo sejenak ke atas takhta Mataram. Ajaran kebatinan Cakradwijayana dan Cakraniskala yang berornamen kerinduan atas masa lampau dihidupkan kembali sebagai basis.

Raja Kartasura, Paku Buwono II setelah mengungsi ke Ponorogo akibat pemberontakan Cina pada 1736, menggunakan penasihat rohani Kiai Pesantren Tegalsari, Kasan Besari Sepuh. Maka tatkala Kartasura roboh, dan keraton serta kota baru dibangun dengan nama Surakarta Hadiningrat (1745), banyak bantuan religio-magis mun- cul dari kaum priayi berpengaruh, seperti RT Honggowongso, RT Arumbinang, RT Sastronagaro, Pengulu Tapsiranom Sepuh dan Kiai Tunggulsari.

Bentuk semacam ini muncul di kemudian hari, setelah Perjanjian Giyanti (1755), di mana sejumlah makna tersamar, jadi dominan. Beberapa raja, pangeran dan adipati yang memiliki ikhwal serupa misalnya Sultan Hamengku Buwono I yang banyak mengikutsertakan para dukun dari wilayah Kepundung dan Payak--negeri asal ibu dan para pamannya yang dari dusun sedang HB II punya pengkiblat rohani asal Kalaraga di lereng G Sindoro, Temanggung.

Mereka banyak membantu pada perang Sukesi 1769 hingga perang Diponegoro (1830), saat HB II kembali dari pembuangan di P Penang, Malaka. Sunan PB IV di Surakarta menjalin persekutuan dengan Kiai Bahman, Nursaleh, Sidik dan Alim Kudus yang berpengaruh dan massa santri kuat.

Dari karya sastra yang lahir antara 1844 - 1900 terungkap pengaruh spiritualisme Jawa-Islami lewat guru-guru tarekat, guru pribadi Sunan. Praja Mangkunegaran yang didirikan RM Sahid alias P Sambernyowo, menurut Babad Tutur, pada 1797 berakrab dengan penasihat rohani, seperti Kiai Rangga Penambangan, Kiai Guru Adirasa dan Adisana, di samping Ki Buyut Manggal, pengajar sufi dan iladuni. Itulah serba sedikit bantuan-bantuan religio-magis yang diberikan para sastrawan, budayawan, dukun, spiritualis dan paranormal zaman keraton- keraton Jawa abad ke-l9.

Tak aneh bila negara Republik Indonesia, setelah melewati zaman Hindia-Belanda, juga masih bertumpu pada pola-pola pikiran sejenis. Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir, Tjarda van Starkenborg Stackh- auwer pada 1942 punya guru kebatinan Kiai Baguskuning dari Pare, Kiai Kodratullah dari Asembagus dan Aruman Kedungpoh. Mereka mengatur tempat persembunyian Sang Gubjen di Kelud, G Puntang, kemudian G Cakrabuana, saat invasi Jepang.

Tidaklah mustahil, bahwa Bung Karno, Presiden RI pertama, yang juga seorang yang percaya mistik punya beberapa guru, seperti Mbah Canggal, Kiai Simalodra, Mbah Suro Nginggil, dan Cantrik Wilis. Itu semacam kewajaran yang dapat kita lacak sedari dulu kala. Bahwa kekuasaan erat pertaliannya dengan paku spiral magiko-religius dan metafisik Kejawen, apa pun bentuknya. Dewasa ini pun, para pejabat dan pamong secara formal, dari eselon kabupaten sampai para jenderal di pusat juga mempunyai penasihat-penasihat yang berkekuatan adikodrati. Ini sebagai konsekuensi logisnya, apabila ada situasi hadir yang serba merisaukan dan penuh golak, ada panutan dan tempat menyandarkan diri.

Plintheng Semar

Plinteng Semar, mengisahkan tentang perjuangan semar melawan Raksasa Penghuni grojogan sewu. Disaat sudah hampir kewalahan, Semar mempunyai ide untuk melempari raksasa itu dengan sebuah plinteng. Setelah tiba saatnya plinteng itu diisi dengan batu yang besarnya tiga kali besar seekor gajah. Akhirnya raksasa itu hancur berkeping-keping. Kemudian batu itu diberi nama dengan batu plinteng semar. Dongeng diatas mengajarkan kepada kita agar senantiasa memerangi kejahatan. Apa pun bentuknya kejahatan akan membawa kerusakan dan kesengsaraan.

Selasa, 25 Januari 2011

kamandaka

Cerita Kamandaka

Ing Negara ingkang misuwur anggenipun swasembada pangan, Negara Pajajaran ingkang dipun pandegani dening Prabu Siliwangi, rakyatipun sami aman, guyub rukun lan makmur. Amarga Prabu Siliwangi anggenipun mimpin kawentar adil lan wicaksana tumrap rakyat lan nayoko praja. Sang Prabu ugi nggadhahi putra sekawan, ingkang sepisan iinggih menika Banyakcatra, Banyakngampar, Retnopamekas, lan Banyakblabur. Saking putra sekawan menika ingkang langkung piter inggih Raden Banyakcatra.

Banyakcatra ingkang asring dipuntimbali pangeran ugi sopan dhumateng punggawa ing istana , lan kerep medal saking istana anggenipun ningali kahanan ing njawi istana. Ing setunggal dinten, Banyakcatra ngangen-angen bilih piyambake pengin saged nggadhahi garwa ingkang sami kaliyan ibunipun. Lajeng piyambake matur kaliyan Sang Prabu. Sang Prabu nggadhahi pamanggih sanes bilih Banyakcatra remen kaliyan ibunipun.

Sesampunipun matur kaliyan Sang Prabu, Banyakcatra lajeng nyuwun pamit kaliyan Sang Prabu lan Ibu minangka badhe mados garwa ingkang dipun remenaken. Banyakcatra mlampah tumuju ing sisih wetan. Lan sampun dangu anggenipun mlampah, Banyakcatra dumugi kadipaten ingkang ageng lan nggadhahi kaendahan alam lan subur. Wonten mrika, Banyakcatra ngrubah namanipun dados Kamandaka supados boteen ketingaal minangka pangeran saking Pajajaran. Ing dinten menika, Kamandaka sumerep putrid saking kadipaten menika miyos ing ngajenge. Kamandaka ngraos sengsem dhumateng putrid wau ingkang ayu, inggih menika putrid saking Adipati Kadandaha inggih menika Dewi Ciptarasa.

Banyakcatra nggadhahi tekad bilih Dewi Ciptarasa kedah dados garwanipun. Kangge nyaketaken kaliyan Dewi Ciptarasa, Kamandaka nglamar dados prajurit ing kadipaten. Kamandaka dipun tampi dados prajurit ing Kadipaten Pasirluhur. Ingkang ngangkat dados prajurit inggih menika Patih Reksanata. Kamandaka ingkang samenika sampun dados prajurit kadipaten nggadhahi tugas ngawal lan njagi kawontenan ing kadipaten. Pepanggihanipun Kmandaka kaliyan Dewi Ciptarasa dipun wiwiti saking lepen nalika Adipati Kadandaha ngawontenaken sengkrama, inggih menika mados ulam wonten Kali Logawa ing kidul kadipaten.

Sesampunipun wonten lepen, Kamandaka lan Dewi Ciptarasa sami nggandhani raos tresna, ananging Kamandaka menika naming dados prajurit ingkang pangkatipun boten inggil. Lajeng, Kamandaka asring wontenanken pepanggihan kaliyan Dewi Ciptarasa ingkang boten tiyang sanes ingkang mangertos, amarga Dewi Ciptarasa ingkang dijagi ketat dening pengawal kadipaten. Ngantos sawijining dinten, tiyang kalih menika kapergok kaliyan prajurit kadipaten lan dipun uber dening prajurit kadipaten. Prajurit ingkang kathah cacahipun, Kamandaka mlumpat pager istana lan kesah saking istana.

Ngantos panjenenganipun dumugi ing wana, prajurit ingkang kathah cacahe minika uga taksih mados Kamandaka. Lan sang Adipati ugi maringi dhawuh supados Kamandaka dipunperjaya utawa dipuntangkep. Ananging Kamandaka samenika lolos saking prajurit kadipaten. Lan panjenenganipun ngumpet ing salah satunggaling wana ingkang tiyang sanes boten ngertos, nanging prajurit ingkang taksih nguber menika ninggal Kamandaka lajeng dipunuber malih ngantos Kamandaka njegur ing kedhung ingkang misuwur angker utawa wingit, amarga tiyang ingkang sampun mlebet kedhung menika boten saged wangsul malih. Lan kangge mejahi Kamandaka, sesampunipun njegur Kamandaka dipununcali watu ngantos kedhung menika kebak watu.

Sesampunipun kebak, Kamandaka dipunnyatakaken sampun pejah lan kedhung menika dijenengi kedhung Petahunan. Ananging boten wonten salah setunggaling prajurit ingkang ngertos bilih kedhung Petahunan menika nggadahi guwa ingkang dipunginakaken Kamandaka kangge umpetan. Guwa menika tembus dumugi ing wana, saengga Kamandaka saged lolos saking prajurit. Ing wana menika Kamandaka mlebet salah setunggaling griya alit ingkang sepi. Samenika Kamandaka leren ing griya menika. Pranyata griya menika gadhahanipun Nyi Kertisara. Wonten mriku Kamandaka ngabdi lan diangkat dados putra kaliyan Ki Rekajaya ingkang nggadhahi kaprigelan anggenipun mados jago kangge aduan.

Raden Kamandaka asring ngadu jago, panjenenganipun asring menang anggene ngadu, lan asilipun dipunparingaken dhateng Nyi Kertisara. Gesangipun Nyi Kertasara saksampunipun wonten Kamandaka saya diten langkung sae. Rasukan lan gubugipun ugi dipundandosi ngantos dados griya ingkang sae. Wonten ing griyanipun Nyi Kertisara, Kamandaka sampun boten kelingan malih kaliyan Dewi Ciptarasa.

Wonten ing Negara Pajajaran, Prabu Siliwangi sampun saya sepuh. Ananging panjenenganipun dereng kepanggih Banyakcatra ingkang dados pangeran. Sampun pinten-pinten taun Banyakcatra esah saking kerajaan kangge mados garwa ingkang sami kaliyan kang ibu. Sanget remenipun Sang Prabu kaliyan kang putra, lajeng Sang Prabu paring dhawuh dhumateng Banyakngampar supadhos madosi Banyakcatra ingkang sampun dangu kesah saking istana. Lan supados Banyakcatra wangsul dugi istana kangge dinobataken dados Raja ing Pajajaran. Banyakngampar ingkang dipundhawuhi ugi sampun dangu anggene kesah saking istana nanging dereng nate kepanggih kaliyan Banyakcatra. Lan Banyakngampar tapa ing Gunung Megasumini kangge nyuwun pitulung saking Gusti.

Manut kaliyan Sang Rama, yen dereng kepangih kaliyan Banyakcatra boten pareng wangsul, Banyakngampar nglajengaken mados Banyakcatra. Ngantos dumugi ing Pasirluhur, Banyakngampar ningali kahanan wonten mrika aman, tentrem, lan guyub rukun, panjenenganipun lajeng pengin nggadhahi kajeng supados dados prajurit wonten kadipaten. Amarga piyambakipun nggadhahi kelangkungan ingkang boten dipungadhahi dening prajurit sanes, Banyakngampar dipunangkat dados perwira ing kadipaten.

Perwira kadipaten kang nggadhahi wibawa inggil menika ngemban tugas saking Sang Adipati kanthi sae lan Banyakngampar ugi nggladhen dhumateng prajurit supados ningkataken kadigdayan prajurit ing Kadipaten. Saya dangu, prajurit ing negari Pasirluhur ugi dados saya kuwat.

Ing setunggaling dinten, wonten salah satunggaling prajurit ingkang nglapor bilih ningali Kamandaka. Kamandaka ingkang dipercaya sampun seda samenika gesang malih. Saksampunipun Sang Adipati ngertos kabar menika bilih Kamandaka taksih gesang, panjenenganipun paring dhawuh dhumateng patih supados ngirim prajurit sandi kangge nangkep Kamandaka. Lan saksampunipun dipunkintuni, prajurit saking kadipaten menika dugi wonten papan kangge adu jago ing dhusun Pengebetan. Prajurit ingkang nyamar dados Silihwarni menika dipunparingi patrem wonten ngandhap lare kangge merjaya Kamandaka. Lan jago menika dipununcalaken wonten Kamandaka, nanging naming kenging ing padharanipun Kamandaka sisih kiwa, Sang Kamandaka nesu lan Silihwarni menika ugi sampun nggadhahi niyat badhe merjaya Kamandaka.

Lajeng Kamandaka lan Silihwarni gelut, Silihwarni ingkang kasektenipun boten sabanding kaliyan Kamandaka menika kalah. Saksampunipun Kamandaka ngertos bilih Silihwarni menka prajurit saking kadipaten, lajeng Ki Rekajaya dipundhawuhi supados kesah saking dhusun kaliyan mbekta Kalamercu, jagonipun Kamandaka. Silihwarni lan prajurit sanesipun nlajengaken mados Kamandaka. Ngantos Silihwarni nantang Kamandaka lan adu kasekten ugi dipunlampahi. Samenika sami kuwatipun, lajeng kaliyan mameraken tantanganipun. Ing nginggil watu ageng, Kamandaka ugi matur tembung kang nantang.

Saksampunipun kepanggih kaliyan rayinipun, Banyakcatra ingkang dados Kamandaka menika wangsul dhateng Pajajaran kangge nuruti kersanipun Sang Prabu. Saksampunipun Banyakcatra dumugi sitinggil, Sang Prabu badhe ngawontenaken upacara paresmenan Banyakcatra dados Raja. Ananging Sang Prabu nembe kelingan bilih panjenenganipun nggadhahi janji dhumateng garwa ingkang nomer kalih inggih menika ibunipun Banyakblabur. Serat ingkang sampun dipundhamel riyin saderengipun Banyakblabur lair menika dipunparingaken dhumateng Banyakcatra.

Kanthi merdhikaning penggalih, Banyakcatra nampi kahanan kasebut. Nanging Sang Prabu tetep ngawontenaken sayembara kangge milih raja ingkang boten wonten cacatipun ing badhanipun Banyakcatra lan Banyakblabur. Sang Prabu kaget bilih Banyakcatra nggadhahi tatu bekas patrem wonten ing padharanipun. Banyakctra kalah naming panenenganipun boten kuciwa amarga luhur budinipun.

Dipunanggep urusanwonten kerajaan sampun pungkasan, Banyakcatra lajeng wangsul malih wonten ing kadipaten Pasirluhur. Sadherengipun Kamandaka menika kepanggih kaliyan Dewi Ciptarasa, Kamandaka tapa ing Batir Agung lan tapa ing muara lepen Logawa kaliyan lepen Mengaji. Wonten mriku Kamandaka dipunparingi rasukan ingkang benten.Sesampunipun nggadhahi rasukan menika, lajeng dipunagem dening Kamandaka lan malik rupa dados lutung.

Ing wana caket kadipaten, Sang Adipati mburu kewan ing mrika ananging boten kados padatan, sampun sekawan dinten menika dereng angsal kewan ingkang dipunburu. Ngantos dumugi dalu, Sang Adipati kondur saking wana, ananing wonten kewan aneh ingkang nyaketi Sang Adipati. Lajeng Sang Adipati ngutus pengawalipun supados nangkep lan mbekta kewan aneh menika wonten ing kadipaten. Sesampunipun dugi kadipaten, kewan menika boten purun dipakani, nanging menawi Dewi Ciptarasa ingkang nyukani pakan lutunge gelem.

Dewi Ciptarasa ingkang sampun misuwur praupane kang ayu, bisa ndadekake pangeran pundi mawon kesengsem kaliyan panjenenganipun. Samenika prabu saking kerajaan Nusa Tembini ingkang taksih nem kang asma Pulebahas nggadhahi kersa nglamar Dewi Ciptarasa. Ananging Sang Dewi nggadhahi kudangan yen panjenenganipun purun nampi lamaranipun Sang Prabu.

Sang Prabu Pulebahas kaget marang kudanganipun Dewi Ciptarasa ingkang kados mekaten, nanging kudangan menika dipunsanggupi dening Pulebahas. Lan lamaran saking Pulebahas dipuntampi. Nanging wonten ing dinten ingkang sampun dipunsiyapaken kangge pengantenanipun Sang Prabu Pulebahas lan Dewi Ciptarasa, lutung ingkang dipunwastani Lutung Kasarung ucul saking kandhang. Kamangka kirabing penganten saking kadipaten tumuju ing Nusa Tembini sampun badhe katindakaken.

Ing satengahing margi, lutung ingkang sampun nyekel pusakane Prabu Pulebahas menika ngacungaken dhumateng Sang Prabu. Sang Prabu kaget lan ndadosaken tarung antarane Prabu Pulebahas kaliyan Lutung Kasarung. Ngantos dumugi Sang Prabu kenging senjata menika, lan Prabu gadhah pemikiran yen dipunlajengaken mesthi bakal kalah amarga senjata ingkang dados priandel menika sampun dicekel lutung sing dadi lawane. Lajeng Sang Prabu murca, mlebet Wuluh Gadhing ingkang dados pusakanipun Sang Prabu saking papan mrika kang arupi jurang.

Saksampunipun Prabu Pulebahas mlebet wuluh gading ingkang dados pusakanipun, lajeng njedhul wonten ing Igir Suruh sakmenika dados Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap. Panjenenganipun lajeng kondur wonten ing Nusa Tembini.

Kamandaka ingkang sampun malih rupa saking lutung wau wangsul wonten kadipaten Pasirluhur. Wonten kadipaten, Kamandaka diutus dening Adipati Kadandaha supados daup krama kaliyan Dewi Ciptarasa.

Sesampunipun krama, Kamandaka wangsul wonten Pajajaran kaliyan Dewi Ciptarasa. Sesampunipun wangsul ing Pajajaran, kamandaka boten purun dados raja lan wangsul ing Kadipaten Pasirluhur. Sang Adipati ingkang sampun sepuh menika marisaken tahta kadipaten dhumateng Kamandaka lan samenika kamandaka dados Adipati wonten Pasir Luhur.

Sakmenika, papan ingkanng dipun ginakaken kangge murca Prbau Pulebahas dipun wastani Desa Jurangbahas Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas. Papan menika dipun ginakaken kangge ziarah kubur utawi nggayuh kabegjan lantaran panembahan uutawi petilasan kala wau. Warga Jurangbahas percaya menawi nggayuh utawi nyuwun berkah lantaran petilasan menika saged mujudaken kekajenganipun. Petilasan menika nggadhahi sawab ingkang ageng langkung malih menawi pengen kamukten kados njago lurah, nyuwun usahanipun lancer, penglaris lansapanunggalipun. Wayah ingkang dipunginakaken kangge ziarah menika ing wayah dalu malem Jemuah utawi Selasa Kliwon.

Igir Suruh ingkang arupi gunung utawii igir, sakmenika dipunginakaken kangge tegalan. Warga saking Dusun Jurangbahas percaya menawi nggarap tegalan ing Igir Suruh menika saged sae lan boten nate gagal panen amarga dipun ayomi dening Prabu Pulebahas.

Unit-Unit Naratif

Unit-unit naratif merupakan peristiwa atau rangakaian kejadian yang terjadi dalam cerita. Dalam cerita “Kamandaka versi Jurangbahas ini, terdiri dari unit naratifs sebagai berikut.

Sekuen 1: Banyakcatra ningali kahanan rakyat ing sakitaripun istana kangge ninjau kahanan ing sakitaripun istana.

Sekuen 2: Prabu Siliwangi maringi dhawuh dhumateng Banyakcatra supados enggal-enggal karma amarga yuswanipun sang prabu ingkang sampun sepuh.

Sekuen 3:Banyakcatra nggadhahi pamanggih pengin nggadhahi garwa kados ibunipun lan medal saking istana kanggo mados garwanipun.

Sekuen 4: Banyakcatra nemukaken kedadosan ingkang aneh wonten margi lajeng tumunju wonten ing dhusun ingkang ngedab-edabi kahananipun

Sekuen 5:Banyakcatra nyamar dados warga biasa supados boten ketingal jatidirinipun lan gantos jeneng dados Kamandaka.

Sekuen 6: Kamandaka ningal lan nggadhahi krenteg kepengin daup kaliyan Dewi Ciptarasa

Sekuen 7: Kamandaka dados prajurit ing Kadipaten Pasirluhur supados caket kaliya Dewi Ciptarasa.

Sekuen 8: Kamandaka ngawal Adipati nalika sengkrama ing lepen kangge sengkrama.

Sekuen 9: Kamandaka asring kepanggih kaliyan Dewi Ciptarasa lan Adipati ngertos menawi Kamandaka asring kepanggih kaliyan Dewi Ciptarasa.

Sekuen 10: Prajurit kadipaten mados lan nguber Kamandaka ngantos dumugi kedhung

Sekuen 11: Kamandaka mentas saking kedhung lan tumuju ing dalemipuun Nyi Kertisara.

Sekuen 12: Kamandaka dipunpupu dening Nyi Kertisara.

Sekuen 13: Kamandaka digladhen lan dipun padosaken sawung aduan dening Ki Rekajaya.

Sekuen 14: Prabu Siliwangi dhawuh kaliyan Banyakngampar supados madosi Banyakcatra.

Sekuen 15: Banyakngamar tapa brata ing Gunung Megasumini kangge nyuwun pitedhah saking Gusti.

Sekuen 16: Banyakngampar dumugi ing Kadipaten Pasirluhur.

Sekuen 17: Banyakngampar dipun dadosaken perwira dening adipati.

Sekuen 18: Banyakngampar dipun dadosaken tiyang kapercayanipun Adipati.

Sekuen 19: Banyakngampar dipundhawuhi sang adipati supados nyelidiki Kamandaka wonten ing papan kangge adu jago.

Sekuen 20: Banyakngampar nderek adu jago nalika sawungipun Kamandaka sampun wonten kandang aduan.

Sekuen 21: Banyakngampar gantos asma dados Silihwarni.

Sekuen 22: Silihwarni mburu Kamandaka sesampunipun ngertos dados buronan kadipaten.

Sekuen 23: Kamnadaka dipunuber dening Silihwarni ngantos ing pundi-pundi papan.

Sekuen 24: Silihwarni mbeberaken piyambakipun menawi putra saking Pajajaran.

Sekuen 25: Silihwarni ngejak Kamandaka wangsul ing Pajajaran.

Sekuen 26: Prabu Siliwangi ngawontenaken pilihan raja antarane Banaykcatra dan Banykangampar lan Banyakcatra kalah.

Sekuen 27: Banyakcatra wangsul malih ing Pasirluhur.

Sekuen 28 Banyakcatra tapa ing Batir Agung lan Kamandaka dipunparingi klambi utawi rasukan lutung ajaib.

Sekuen 29: Kamandaka malih rupa dados lutung.

Sekuen 30: Adipati mburu kewan ing alas lan sumerep kewan anh arupi lutung.

Sekuen 31: Lutung menika dipunbekta ing istana lan dados ingon-ingone Dewi Ciptarasa.

Sekuen 32: Prabu Pulebahas kepengin nglamar Dewi Ciptarasa lajeng Dewi Ciptarasa nyuwun sarat supados ndamel bantalan mori ingkang dawanipun saking Pasirluhur tumuju Nusa Tembini.

Sekuen 33: Dewi Ciptarasa badhe mantenan kaliyan Pulebahas.

Sekuen 34: Lutung ucul saking kandhange lan mundhut pusakanipun Prabu Pulebahas ing senthong.

Sekuen 35: Pulebahas lan Lutung tarung.

Sekuen 36: Pulebahas sumerep menawi pusakanipun dibekta lutung.

Sekuen 37: Pulebahas ngraos cilik ati lan ndadosaken badhe kalah.

Sekuen 38: Pulebahas mlebet wulu gadhing.

Sekuen 39: Pulebahas njedhul ing igir Suruh lan wangsul ing Nusa Tembini.

Sekuen 40: Lutung menika wangsul ing kadipaten lan malih dados Kamandaka.

Sekuen 41: Kamandaka karma kaliyan Dewi Cipatarasa.

Sekuen 42: Kamandaka dados Adipati ing Pasirluhur nggentos marasepuhipun.

Cerita Kamandaka

Seperti yang telah dijelaskan pada penjelasan awal mengenai teori Hermeneutika oleh Gadamer mengenai pemahaman atau interpretasi mengenai karya seni atau karya sastra baik secara lisan maupun tulis pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antarmakna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Dengan inilah yang dimaksud dengan dinamika perpaduan berbagai macam factor dalam sebuah bahasa yang dapat kita gunakan untuk mengkaji makna dalam setiap symbol yang ada dalam media bahasa tersebut. Faktor- faktor yang dimaksud itu antara lain :

1. Bildung

Bildung adalah konsep-konsep yang meliputi seni, sejarah weltanschauung (pandangan dunia), pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan, style atau gaya dan simbol, yang kesemuanya itu kita mengerti saat ini sebagai istilah-istilah dalam sejarah. Kata bildung sendiri mempunyai arti yang lebih luas dari pada sekedar kultur atau kebudayaan, bahkan mempunyai arti dalam konotasi yang lebih tinggi. Seperti alam, bildung tidak mempunyai tujuan akhir selain dirinya sendiri, sejauh kata bildungziel, mempunyai tujuan untuk meluaskan pengertian kata bildung tersebut. Bildung adalah sebuah gagasan historis asli dan pengadaannya penting untuk pemahaman dan interpretasi ilmu-ilmu kemanusiaan, selama seni dan sejarah masuk dalam bildung (kebudayaan), orang akan melihat dengan mudah hubungan antara bildung dan hermeneutik. Tanpa bildung orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Dalam cerita Kamandaka ada bebrapa symbol yang kaitannya erat dengan bildung. Adapun symbol-simbol yang akan ditafsirkan dari cerita Kamandaka antara lain:

1. Jago

Merupakan ayam jantan yang biasa digunakan untuk bertarung. Orang yang pandai memilih jago adalah Ki Rekajaya. Jago dalam konsep orang zaman dahulu merupakan suatu lambang kehormatan yang dimiliki seseorang. Makna dari jago adalah simbol kejantanan pria atau seorang kesatria.

2. Adu Jago

Merupakan menyabung ayam atau mengadu jago yang identik dengan judi.PAda waktu Silihwarni menyabung jago dengan Kamandaka, dia sengaja melempar jago aduan kearah Kamandaka dengan tujuan melukai Kamandaka. Makna dari adu jago dari cerita Kamandaka melambangkan suatu pertarungan atau persaingan dalam menggapai suatu tujuan atau kemulyaan. Dalam pertarungan, orang akan menghalalkan segala cara untuk kepentingannya sendiri.

3. Patrem

Merupakan alat atau keris kecil yang digunakan sebagai senjata pada laki-laki sejak ia kecil unutk membela diri. Dalam cerita Kamandaka, patrem digunakan sebagai senjata pada jago aduan (sabung ayam) yang diletakan pada taji ayam aduan (jago). Patrem merupakan simbol dari kedudukan yang mengangkat derajat atau status seorang lelaki atau pemuda. Dalam konteks kekinian, patrem dapat diartikan sebagai gelar, jabatan, atau atau kekuasaan seseorang.

4. Kedhung

Kedhung diartikan sebagai sumber kehidupan yang dapat menolong Kamandakan dari buruna prajurit kadipaten. Kedhung menyediakan air yang sangat banyak. Dalam makna sekarang, air yang banyak digunakan untuk sumber kehidupan yang digunakan untuk pemenuhan kehidupan seperti irigasi, dan pemenuhan kebutuhan hidup yang lain.

5. Watu

Batu bersifat keras dan sulit dipecahkan. Batu yang digunakan oleh Kamandaka untuk pijakan dan bertemunya Kamandaka dengan Banyakcatra. Dalam konsep ini, batu diartikan persaudaraan antara Kamandaka dan Banyakngampar yang erat, walau dipisahkan dengan konflik apapun, persaudaraan mereka tetap solid atau bersatu.

6. Klambi Lutung

Lutung merupakan hewan yang menyerupai manusia. lutung mempunyai sifat pintar dan licik. Dikaitkan dengan konsep sekarang, lutung berarti kecerdasan, kelicikan atau kelicikan yang dimillki oleh seseorang.

7. Gada

Gada merupakan alat untuk memukul. Gada yang dimiliki Prabu Pulebahas merupakan senjata andalan beliau. Melambangkan kekuatan yang sangat besar. kekuatan juga diartikan sebagai potensi yang dimiliki seseorang.

8. Jurang

Jurang merupakan tempat terakhir pertarungan antara Kamandaka dan Prabu Pulebahas. Ditempat ini, tidak ada yang bisa melarikan diri kemana-mana karena jurang merupakan tebing yang sangat dalam. Makna dari jurang adalah suatu kebuntuan berpikir atau masalah besar yang dihadapi seorang.

9. Wuluhgadhing

Merupakan senjata pamungkas yang dimiliki oleh Prabu Pulebahas. Wuluh Gadhing sebagai simbol spesialisasi atau kecerdasan yang dimiliki seorang. Atau jalan keluar dari suatu masalah yang dihadapi seseorang.

2. Sensus Comunis

Gadamer menggunakan ungkapan ini bukan sebagai pendapat umum atau pendapat kebanyakan orang pada umumnya. Menurut pengertiannya yang mendasar, istilah tersebut adalah pandangan yang mendasari komunitas dan karenanya sangat penting untuk hidup. Hidup di dalam suatu komunitas atau kelompok masyarakat memperkembangkan suatu pandangan tentang kebaikan yang benar dan umum. Sejarawan memerlukan sensus komunis semacam ini dengan maksud untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia. Sejarah pada dasarnya tidak berbicara tentang seorang manusia yang terpencil, tetapi berbicara tentang kelompok manusia atau komunitas. Demikian juga dengan kesusastraan. Sebuah karya sastra, yang temanya bersifat universal atau yang menggambarkan keadaan manusia, layak untuk dihargai. Gadamer sepakat dengan Shaftesbury bahwa sensus komunis adalah pandangan tentang kebaikan umum, cinta komunitas, masyarakat, atau kemanusiaan. Sensus communis adalah kebijaksanaan dalam pergaulan sosial. Melalui sensus communis orang memperkembangkan pandangan tentang kebaikan umum atau cinta kemanusiaan.

Dalam cerita Kamandaka menurut pandangan masyarakat Jurangbahas, seorang Prabu Pulebahas itu digambarkan seorang yang gagah perkasa, arif dan bijaksana. Karena beliau merupakan seorang yang gagah dan bijaksana. Selain itu, Prabu Pulebahas juga terkenal dengan kemakmuran rakyatnya. Sehingga rakyat Jurangbahas percaya beliau merupakan seorang yang arif bijaksana dan tampan. Namun ada pandangan negative menurut orang sekitar jurangbahas. Masyarakat luar percaya bahwa Pulebahas merupakan raja yang berwajah menyeramkan. Beliau dianggap seperti buta atau raksasa.

Raja merupakan seorang yang sempurna dan cerdas, masa pandangan seorang raja buta. Raja merupakan seorang yang dihormati oleh rakyatnya. Dan konsep raja haruslah orang yang sempurna dari segi fisik, berbadan tegak dan gagah, dan daris egi batin harus bijaksana, sabar, dan arif dalam menghadapi segala persoalan.

Dalam cerita Kamandaka, Kamandaka yang berkunjung ke taman kaputren kemudian melihat Dewi Ciptarasa yang sedang mandi oelh karena itu diburu oleh prajurit kadipaten. Nmaun, ada yang berpendapat bahwa seorang Kamandaka yang merupakan orang terdidik dan seorang pangeran yang sopan tidak mungkin berbuat seperti itu.

Dewi Ciptarasa seorang merupakan seorang putri yang cantik jelita. Orang daerah Banyumas percaya bahwa Dewi Ciptarasa adalah putrid Adipati yang paling cantik dan baik hati. Dewi Ciptarasa juga terkenal tidak sombong. Ada penafsiran Dewi Ciptarasa itu seorang pemilih karena dia tidak mau menikah dengan Prabu Pulebahas. Dia menganggap Prabu Pulebahas kurang berparas tampan dibandingkan dengan Kamandaka. Dari konsep seorang putri, masyarakat Banyumas percaya bahwa Dewi Ciptarasa itu seorang yang baik dan hampir tidak mempunyai kejelekan.

3. Pertimbangan

Konsep pertimbangan mirip dengan sensus communis dan selera. Pertimbangan sifatnya adalah universal, namun bukan berarti berlaku umum. Seperti halnya sensus communis yang dianggap sebagai harta universal, kemanusiaan namun juga tidak juga digunakan secara umum. Pertimbangan juga bersifat universal, tetapi hanya sedikit orang saja yang kiranya memilliki hal itu serta mempergunakannya sebagaimana mestinya. Pertimbangan dan sensus communis keduanya merupakan interpretasi ilmu-ilmu tentang hidup. Melalui pertimbangan orang dapat memilah-milah macam-macam peristiwa.

Klambi Lutung: merupakan baju yang dipakai oleh kamandaka. Baju ini merupakan pemberian dari dewa ketika dia sedang bertapa. Klambi lutung yang berbentuk pakaian tetapi menyerupai lutung ini dipakai Kamandaka. Pakaian dalam penggunaannya sebagai pelindung badan dari panas dan dingin. Lutung merupakan hewan yang mirip manusia karena termasuk jenis primata. Lutung merupakan hewan yang cerdik dan biasa dipelihara oleh manusia sebagai hewan peliharaan karena lucu dan cerdiknya.

Jago merupakan ayam jantan yang disukai dan banyak dicari untuk aduan. Jago sebagai obyek yang diadu untuk menunjukan keberaniaan jago tersebut. Jago akan berani menghadapi jago lawan ketika ia melayani pertarungan dengan lawannya sehingga jago bersifat kesatria.

Patrem merupakan alat seperti keris tetapi kecil yang dimiliki anak laki-laki sejak ia masih kecil untuk membela diri. Patrem merupakan bekal untuk anak laki-laki dalam membela diri karena banyak bahaya yang menghadang anak laki-laki.

4. Selera atau Taste

Penyelidikan tentang selera menurut pandangan Gadamer dalam hal ini tidak bersangkut- paut dengan kecenderungan pribadi, atau bahkan dengan kesukaan pribadi. Sebaliknya, pandangan Gadamer justru mengatasi kesukaan pribadi. Menurut gadamer orang tentu saja dapat menyukai apa yang orang lain tidak suka. Oleh karena itu tentang selera tidak perlu diperdebatkan, sebab tidak ada criteria untuk menentukan selera.

Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannyatidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu sebabnya. Tetapi selera tahu pasti tentang hal itu. Semakin selera dinyatakan pasti, maka akan semakin dirasakan hambar. Berdasarkan fakta, selera bertentangan dengan hal yang tidak menimbulkan selera.

Gadamer mempertentangkan antara selera yang baik dengan yang tidak menimbulkan selera. Gadamer menyatakan bahwa fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau pembedaan, tetapi kemampuan ini tidak dapat didemonstrasikan. Selera tidak terbatas pada apa yang indah secara alami dan di dalam seni, tetapi sebaliknya justru meliputi seluruh moralitas dan perilaku atau tabiat.

Konsep pertimbangan seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki hubungan yang erat dengan selera atau taste, selain itu keputusan moral juga menuntut selera. Kita tidak pernah memiliki selera yang berlaku umum. Kita hanya memiliki pertimbangan atas kasus khusus individual. Jadi, pertimbangan selalu mempunyai titik awal berlakunya. Kiranya sulit bagi kita untuk memisahkan antara selera dan pertimbangan.

Dalam cerita Kamandaka yang juga menceritakan Prabu Pulebahas yang merupakan raja Nusatembini ini menuai pertimbangan antara positif dan negatif yang dimiliki oleh masyarakat, diantaranya;

Positif:

Prabu Pulebahas merupakan raja yang gagah dan bijaksana. Prabu Pulebahas yang merupakan raja ini merupakan raja yang disegani diseluruh kerajaan sekitarnya karena ketegasan dan kewibawaan yang dimilikinya.

Masyarakat Jurangbahas percaya bahwa Pulebahas merupakan raja agung yang berasal dari Nusa Tembini yang gagah perkasa. Dan peneliti sempat bertanya mengenai rupa Pulebahas itu gagah dan berwibawa. Dari pernyataan narasumber dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jurangbahas mempunyai selera yang positif.

Negatif:

Prabu Pulebahas merupakan raja yang gagah tetapi berwujud buta. Dia juga berparas menyeramkan sehingga banyak orang yang takut. Dia juga terkenal ganas karena berwatak buta sehingga bisa dibilang dalam pemerintahannya tidak ada yang berani menentang.

Dalam cerita juga disebutkan Prabu Pulebahas ditolak lamrannya oleh Dewi Ciptarasa karena Dewi Ciptarasa itu takut dengan Pulebahas. Hal ini yang menjadi pertimbangan dan penyebab timnulnya selera negatif.

Seperti hal-hal yang telah dipaparkan di atas, tentunya kita tidak adil apabila memaksakan selera kita kepada khalayak umum. Kita hanya bisa menerima selera orang lain yang berbeda dengan kita, dan menyerahkan kepada orang lain tersebut mengenai selera apa yang mereka suka menurut penafsiran mereka pada pertimbangan-pertimbangan sebelumnya yang menimbulkan selera mereka.